Tahun Yubileum
2025
Dalam beberapa bulan lagi Tahun Yubileum akan berakhir, tetapi kita tetap dapat merenungkan
apa pesan Paus Fransiskus dalam Bulla “Spes Non Confundit” (Harapan Tidak Mengecewakan).
“Bagi semua orang, semoga Yubileum ini menjadi momen perjumpaan pribadi yang sejati dengan
Tuhan Yesus, “pintu” (lihat. Yoh. 10:7,9) keselamatan kita, yang selalu diwartakan oleh Gereja
sebagai “pengharapan kita” (1Tim. 1:1), kepada siapa saja dan di mana saja (SNC 1). Orang yang
percaya kepada Kristus hidup dalam damai sejahtera dengan Allah dan bermegah dalam
pengharapan akan menerima kemuliaan Allah. Pengharapan ini tidak mengecewakan karena kasih Allah telah
dicurahkan dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita
(Rm. 5:1-2,5). Wafat dan kebangkitan Yesus adalah inti iman kita dan dasar pengharapan kita.
Kristus mati, dikuburkan, dibangkitkan, dan menampakkan diri. Demi kita, Yesus mengalami
drama kematian. Pengharapan Kristiani justru terletak pada hal ini: bahwa dalam
menghadapi kematian yang tampaknya merupakan akhir dari segalanya, kita mempunyai
kepastian bahwa, berkat kasih karunia Kristus yang diberikan kepada kita melalui pembaptisan,
“kehidupan diubah, bukan berakhir,” selamanya. Apa yang akan terjadi pada kita setelah
kematian? Bersama Yesus, melampaui ambang batas ini, kita akan menemukan kehidupan kekal,
yang merupakan persekutuan penuh dengan Tuhan. Apa yang menjadi ciri kepenuhan persekutuan ini..?
Menjadi Bahagia. Kebahagiaan adalah panggilan kemanusiaan kita, sebuah tujuan yang dicita-
citakan semua orang. Berkaitan dengan kehidupan kekal, kita perlu mengingat penghakiman
Allah, baik pada akhir kehidupan kita, maupun pada akhir sejarah (SNC 21). Kita memang harus
mempersiapkan diri secara sadar dan bijaksana untuk menghadapi saat ketika hidup kita akan
diadili, namun dari sudut pandang pengharapan kita harus selalu melakukan Kebajikan teologis
yang menopang hidup kita dan melindunginya dari ketakutan yang tidak berdasar. Penghakiman
Allah, yang adalah kasih (lihat 1Yoh. 4:8:16), pasti akan didasarkan pada kasih, dan khususnya
pada semua yang telah berhasil atau gagal kita lakukan sehubungan dengan mereka yang
membutuhkan, yang di tengah-tengahnya Kristus, sang Hakim sendiri, hadir (lihat. Mat.25:31-46).
Harus diakui bahwa selama hidup di dunia ini manusia tidak lepas dari kecenderungan untuk
berdosa. Paus Fransiskus mengajak para Misionaris Belas Kasih untuk menghidupkan kembali
pengharapan dan menawarkan pengampunan setiap kali ada orang berdosa yang datang kepada
merekadengan hati terbuka dan kehendak untuk bertobat (SNC 23). “Di Tahun
Yobel ini semoga semua orang dapat menerima pengampunan dan penghiburan dari Tuhan”
(SNC 23). Orang yang bertobat dan menerima pengampunan dipanggil menjalani kehidupan
mereka seperti yang dikehendaki oleh Allah, yaitu hidup dalam kasih dengan Allah dan dengan
sesama. Orang yang bertindak demikian dapat disebut sebagai orang yang menjalani pembaruan
hidup: ia meninggalkan dosa dan kejahatan yang telah dilakukannya, lalu menjalani kehidupan
yang dikehendaki oleh Allah, kehidupan yang diwarnai dengan kasih.
Dalam Bulan Kitab Suci Nasional tahun 2025 ini, kita akan merenungkan nubuat dua orang nabi
yang berkarya di zaman sesudah pembuangan, yaitu Zakharia dan Maleakhi. Kedua nabi ini
menyampaikan seruan tentang pembaruan hidup kepada orang-orang Yahudi, bangsa yang dipilih
oleh Tuhan menjadi Umat-Nya. Sebagai bangsa pilihan TUHAN, mereka diingatkan untuk hidup
sesuai jatidiri mereka dengan hidup menurut kehendak TUHAN, Allah mereka.
Allah, Sumber Pembaruan Relasi
Ketika orang Israel diperbudak di Mesir, mereka berteriak minta tolong karena tidak tahan
menanggung penderitaan karena perbudakan (Kel.2:23). Allah mendengar rintihan orang Israel
lalu memperhatikan mereka (Kel. 2:24). Ia melihat betapa kerasnya orang Mesir menindas
mereka (Kel.3:9). Karena itu, Allah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan
membawa mereka ke negeri yang luas dan subur (Kel. 3:8). Allah menjumpai Musa untuk
mengutusnya membawa orang Israel keluar dari Mesir (Kel. 3:10). Lalu, dengan perantaraan
Musa, Allah berbagai tulah untuk memaksa orang Mesir membiarkan orang Israel pergi dari
negeri mereka. Demikianlah, Musa membawa orang Israel keluar dari negeri yang telah
memperbudak mereka. Seperti yang diperintahkan oleh Allah (Kel. 3:12), Musa membawa orang
Israel ke Sinai. Di gunung ini TUHAN, mengadakan perjanjian dengan orang Israel. Dalam
Perjanjian Sinai TUHAN mengangkat Israel menjadi umat-Nya (Kel. 19:5-6). Dengan demikian,
Ia menjadi Allah Israel dan Israel menjadi umat TUHAN. Mereka mendapatkan jatidiri yang
baru :
Sebelumnya mereka adalah bangsa budak, yang ada di bawah kekuasaan orang Mesir. Setelah
diikat dalam perjanjian dengan TUHAN, mereka bukan lagi budak melainkan bangsa yang
merdeka; mereka bukan lagi budak Mesir, melainkan bangsa pilihan TUHAN. Antara TUHAN
dan orang Israel terbentuk relasi yang eksklusif, yaitu relasi antara Allah dan Umat-Nya. TUHAN
melakukan semua itu kepada orang Israel karena Ia mengasihi mereka (Ul. 7:8; bdk. Ul. 4:37).
TUHAN yang telah membangun relasi dengan orang Israel menghendaki agar mereka
memperhatikan relasi mereka dengan Allah mereka dan dengan sesama mereka. Kehendak
TUHAN ini diungkapkan dalam Hukum Taurat yang diberikan kepada orang Israel menjadi
pedoman hidup bagi mereka.
Pada dasarnya hukum ini bertumpu pada dua hal, yaitu kasih kepada Allah dan kasih kepada
sesama (Mat. 22:34-40; Ul. 10:12-20). Dengan kata lain, kehidupan umat TUHAN itu diwarnai
relasi penuh kasih dengan Allah dan dengan sesama.
Orang Israel menyatakan kesanggupan untuk menjadi umat TUHAN dan kesanggupan untuk
hidup menurut jati dirinya sebagai umat-Nya dan kesanggupan untuk melakukan firman yang
telah disampaikan oleh TUHAN kepada mereka (Kel. 19:8; 24:3,7). Kehidupan Umat Israel
dikatakan tidak sesuai dengan jatidirinya, bila mereka tidak setia kepada Allah atau memberontak
melawan Dia dan bila mereka berlaku tidak adil kepada sesama. Dosa dan kejahatan yang
dilakukan oleh orang Israel kepada TUHAN dan kepada sesama ini merusak relasi mereka
dengan Allah dan sesama mereka. Kehidupan orang Israel selama hidup di padang gurun
dipahami sebagai masa yang indah dalam hubungan mereka dengan TUHAN. Tetapi, dalam
perjalanan sejarah mereka, orang Israel berulang kali melanggar hukum Allah. Mereka berlaku
tidak setia kepada Allah dengan meninggalkan Dia dan menyembah dewa-
dewi dan melakukan berbagai kejahatan kepada sesama. Setiap kali orang Israel melakukan
berlaku tidak setia kepada Allah dan berlaku jahat kepada sesama, TUHAN mengutus para nabi
kepada mereka. Nabi diutus oleh Allah untuk mengingatkan umat Israel supaya meninggalkan
kejahatan dan dosa yang mereka lakukan lalu hidup sesuai dengan jatidiri mereka sebagai umat
pilihan Allah. Para nabi harus berjuang keras untuk menyampaikan peringatan kepada umat Israel.
Mereka melakukan hal ini dengan berbagai cara:
• mengingatkan orang Israel pada kasih Allah yang telah mengangkat
mereka yang dulunya budak menjadi umat-Nya.
• mengingatkan mereka akan jatidiri mereka sebagai umat TUHAN
supaya mereka hidup menurut jatidiri mereka dengan hidup menurut hukum TUHAN.
• menyampaikan seruan pertobatan: mengingatkan mereka untuk
menghentikan kejahatan yang mereka lakukan (Yeh. 18:31).
• menyampaikan ancaman hukuman atau konsekuensi yang harus
mereka tanggung bila mereka menolak peringatan Allah yang mereka sampaikan.
Ketika menyembah berhala, orang Israel meninggalkan TUHAN dan pergi
kepada para berhala itu. Hati mereka tertuju kepada para berhala lalu mereka pergi ke
kuil untuk menyampaikan persembahan kepada berhala.
Pembaruan Relasi Dalam Hidup
Seruan yang disampaikan oleh para nabi untuk memperbarui relasi dalamkehidupan itu tidak
hanya berlaku untuk umat Allah di Perjanjian Lama, tetapi juga untuk umat Allah sepanjang
zaman. Dalam Injil Yohanes Tuhan Yesus menyatakan bahwa Allah mengasihi manusia dan
menghendaki manusia hidup dalam kemuliaan abadi bersama dengan Dia
(Yoh. 3:16). Karena itu, Allah mengaruniakan Anak Tunggal-Nya untuk membebaskan
manusia dari dosa dan kematian. Kasih Allah kepada manusia itu tampak jelas dalam diri Yesus,
yang mengasihi manusia dengan kasih yang paling besar, yaitu dengan menyerahkan nyawa-Nya
(Yoh. 15:13). Dengan cara demikian, Allah membuka relasi dengan manusia, bukan hanya dengan orang Israel.
Orang yang telah mengambil keputusan untuk percaya kepada Allah yang mengasihi manusia ini
masuk dalam relasi dengan Allah. Karena Allah telah mengasihi dia, dia pun mengasihi Allah.
Karena telah mengasihi manusia dengan kasih yang paling besar, Yesus menyampaikan perintah
yang baru, yaitu supaya para murid-Nya mengasihi sesama seperti Ia telah mengasihi mereka
(Yoh. 13:14; 15:12). Karena itu, orang yang percaya kepada Kristus senantiasa menyesuaikan
hidupnya dengan kehendak Allah. Kehidupan yang dikehendaki oleh Allah adalah kehidupan
yang diwarnai dengan kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. Seluruh anggota Gereja,
umat Allah yang baru, dipanggil untuk memperbarui relasi dengan Allah dan dengan sesama.
Supaya dapat menjalani kehidupan seperti ini, orang perlu mempelajari siapa Allah dan apa yang
dikehendaki-Nya. Pengetahuan tentang Allah ini
menolong orang untuk masuk dalam pengenalan akan Allah. Orang yang mengenal Allah
membina relasi dengan Allah: Ia merasakan bagaimana Allah telah mengasihi dia dan sebaliknya,
ia pun mengasihi Allah. Berdasarkan pemahaman dan pengenal akan Allah yang dimilikinya,
umat memeriksa diri mereka berdasarkan pemahaman tentang Allah dan kehendak-Nya. Dalam
pemeriksaan diri itu, mereka melihat bagaimana mereka telah bersikap kepada Allah dan kepada
sesama. Mereka dapat melihat yang benar dan yang salah
dalam perbuatan mereka. Kesadaran akan kasih Allah akan mendorong dia untuk tidak lagi
melakukan hal- hal yang salah, baik kepada Allah maupun kepada sesama. Sesudah itu, ia akan
mengarahkan hidupnya semata-mata untuk melakukan hal-hal yang dikehendaki oleh Allah dan
mengusahakan semua yang diperlukan supaya ia berpikir, berbicara, dan bertindak benar,
sesuai dengan Dalam beberapa bulan lagi Tahun Yubileum akan berakhir, tetapi kita tetap dapat
merenungkan apa pesan Paus Fransiskus dalam Bulla “Spes Non
Confundit” (Harapan Tidak Mengecewakan). “Bagi semua orang, semoga Yubileum ini menjadi
momen perjumpaan pribadi yang sejati dengan Tuhan Yesus, “pintu”
(lihat. Yoh.10:7,9) keselamatan kita, yang selalu diwartakan oleh Gereja sebagai “pengharapan
kita” (1Tim. 1:1), kepada siapa saja dan di mana saja (SNC 1). Orang yang percaya kepada
Kristus hidup dalam damai sejahtera dengan Allah dan bermegah dalam pengharapan akan
menerima kemuliaan Allah. Pengharapan ini tidak mengecewakan
karena kasih Allah telah dicurahkan dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan
kepada kita (Rm. 5:1-2,5). Wafat dan kebangkitan Yesus adalah inti iman kita dan dasar
pengharapan kita. Kristus mati, dikuburkan, dibangkitkan, dan menampakkan diri.
Demi kita, Yesus mengalami drama kematian. Pengharapan Kristiani justru terletak pada hal ini:
bahwa dalam menghadapi kematian yang tampaknya merupakan akhir dari segalanya, kita
mempunyai kepastian bahwa, berkat kasih karunia Kristus yang diberikan kepada kita melalui
pembaptisan, “kehidupan diubah, bukan berakhir,” selamanya. Apa yang akan terjadi
pada kita setelah kematian? Bersama Yesus, melampaui ambang batas ini, kita akan menemukan
kehidupan kekal, yang merupakan persekutuan penuh dengan Tuhan. Apa yang menjadi ciri
kepenuhan persekutuan ini? Menjadi Bahagia. Kebahagiaan adalah panggilan kemanusiaan kita,
sebuah tujuan yang dicita-citakan semua orang. Berkaitan dengan kehidupan kekal, kita perlu
mengingat penghakiman Allah, baik pada akhir kehidupan kita, maupun pada akhir sejarah (SNC
21). Kita memang harus mempersiapkan diri secara sadar dan bijaksana untuk menghadapi saat
ketika hidup kita akan diadili, namun dari sudut
pandang pengharapan kita harus selalu melakukan Kebajikan teologis yang menopang hidup kita
dan melindunginya dari ketakutan yang tidak berdasar. Penghakiman Allah, yang adalah kasih
(lihat 1Yoh. 4:8:16), pasti akan didasarkan pada kasih, dan khususnya pada semua yang telah
berhasil atau gagal kita lakukan sehubungan dengan mereka yang membutuhkan,
yang di tengah-tengahnya Kristus, sang Hakim sendiri, hadir (lihat. Mat. 25:31-46).
Harus diakui bahwa selama hidup di dunia ini manusia tidak lepas dari kecenderungan untuk
berdosa. Paus Fransiskus mengajak para Misionaris Belas Kasih untuk menghidupkan kembali
pengharapan dan menawarkan pengampunan setiap kali ada orang berdosa yang datang kepada
mereka dengan hati terbuka dan kehendak untuk bertobat (SNC 23). “Di Tahun Yobel ini semoga
semua orang dapat menerima pengampunan dan penghiburan dari Tuhan” (SNC 23). Orang yang
bertobat dan menerima pengampunan dipanggil menjalani kehidupan mereka seperti yang
dikehendaki oleh Allah, yaitu hidup dalam kasih dengan Allah dan dengan sesama. Orang yang
bertindak demikian dapat disebut sebagai orang yang menjalani pembaruan hidup: ia
meninggalkan dosa dan kejahatan yang telah dilakukannya, lalu menjalani kehidupan yang
dikehendaki oleh Allah, kehidupan yang diwarnai dengan kasih. Dalam Bulan Kitab Suci
Nasional tahun 2025 ini, kita akan merenungkan nubuat dua orang nabi yang berkarya di zaman
sesudah pembuangan, yaitu Zakharia dan Maleakhi. Kedua nabi ini menyampaikan seruan
tentang pembaruan hidup kepada orang-orang Yahudi, bangsa yang dipilih oleh Tuhan menjadi
Umat-Nya. Sebagai bangsa pilihan TUHAN, mereka
diingatkan untuk hidup sesuai jatidiri mereka dengan hidup menurut kehendak TUHAN,
Allah mereka.
Allah, Sumber Pembaruan Relasi
Ketika orang Israel diperbudak di Mesir, mereka berteriak minta tolong karena tidak tahan
menanggung penderitaan karena perbudakan (Kel.2:23). Allah mendengar rintihan orang Israel
lalu memperhatikan mereka (Kel. 2:24). Ia melihat betapa kerasnya orang Mesir menindas mereka
(Kel.3:9). Karena itu, Allah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan
membawa mereka ke negeri yang luas dan subur (Kel. 3:8). Allah menjumpai Musa untuk
mengutusnya membawa orang Israel keluar dari Mesir (Kel. 3:10). Lalu, dengan perantaraan
Musa, Allah berbagai tulah untuk memaksa orang Mesir membiarkan orang Israel pergi dari
negeri mereka. Demikianlah, Musa membawa orang Israel keluar dari negeri yang telah
memperbudak mereka. Seperti yang diperintahkan oleh Allah (Kel. 3:12), Musa membawa orang
Israel ke Sinai. Di gunung ini TUHAN, mengadakan perjanjian dengan orang Israel. Dalam
Perjanjian Sinai TUHAN mengangkat Israel menjadi umat-Nya (Kel. 19:5-6). Dengan demikian,
Ia menjadi Allah Israel dan Israel menjadi umat TUHAN.
Mereka mendapatkan jati diri yang baru:
sebelumnya mereka adalah bangsa budak, yang ada di bawah kekuasaan orang Mesir. Setelah
diikat dalam perjanjian dengan TUHAN, mereka bukan lagi budak melainkan bangsa yang
merdeka; mereka bukan lagi budak Mesir, melainkan bangsa pilihan TUHAN. Antara TUHAN
dan orang Israel terbentuk relasi yang eksklusif, yaitu relasi antara Allah dan Umat-Nya. TUHAN
melakukan semua itu kepada orang Israel karena Ia mengasihi mereka (Ul. 7:8; bdk. Ul. 4:37).
TUHAN yang telah membangun relasi dengan orang Israel menghendaki agar mereka
memperhatikan relasi mereka dengan Allah mereka dan dengan sesama mereka. Kehendak
TUHAN ini diungkapkan dalam Hukum Taurat yang diberikan kepada orang Israel menjadi
pedoman hidup bagi mereka. Pada dasarnya hukum ini bertumpu pada dua hal, yaitu kasih kepada
Allah dan kasih kepada sesama (Mat. 22:34-40; Ul. 10:12-20). Dengan kata lain, kehidupan umat
TUHAN itu diwarnai relasi penuh kasih dengan Allah dan dengan sesama. Orang Israel
menyatakan kesanggupan untuk menjadi umat TUHAN dan kesanggupan untuk hidup menurut
jati dirinya sebagai umat-Nya dan kesanggupan untuk melakukan firman yang telah disampaikan
oleh TUHAN kepada mereka (Kel. 19:8; 24:3,7).
Kehidupan Umat Israel dikatakan tidak sesuai dengan jatidirinya, bila mereka tidak setia kepada
Allah atau memberontak melawan Dia dan bila mereka berlaku tidak adil kepada sesama. Dosa
dan kejahatan yang dilakukan oleh orang Israel kepada TUHAN dan kepada sesama ini merusak
relasi mereka dengan Allah dan sesama mereka. Kehidupan orang
Israel selama hidup di padang gurun dipahami sebagai masa yang indah dalam hubungan mereka
dengan TUHAN. Tetapi, dalam perjalanan sejarah mereka, orang Israel berulang kali melanggar
hukum Allah. Mereka berlaku tidak setia kepada Allah dengan meninggalkan Dia dan
menyembah dewa-dewi dan melakukan berbagai kejahatan kepada sesama. Setiap kali orang
Israel melakukan berlaku tidak setia kepada Allah dan berlaku jahat kepada sesama, TUHAN
mengutus para nabi kepada mereka. Nabi diutus oleh Allah untuk mengingatkan umat Israel
supaya meninggalkan kejahatan dan dosa yang mereka lakukan lalu hidup sesuai dengan jatidiri
mereka sebagai umat pilihan Allah. Para nabi harus berjuang keras untuk menyampaikan
peringatan kepada umat Israel.
Mereka melakukan hal ini dengan berbagai cara:
• mengingatkan orang Israel pada kasih Allah yang telah mengangkat
mereka yang dulunya budak menjadi umat-Nya.
• mengingatkan mereka akan jatidiri mereka sebagai umat TUHAN
supaya mereka hidup menurut jatidiri mereka dengan hidup menurut hukum TUHAN.
• menyampaikan seruan pertobatan: mengingatkan mereka untuk menghentikan
kejahatan yang mereka lakukan (Yeh. 18:31).
• menyampaikan ancaman hukuman atau konsekuensi yang harus mereka tanggung bila
mereka menolak peringatan Allah yang mereka sampaikan.
Ketika menyembah berhala, orang Israel meninggalkan TUHAN dan pergi kepada para berhala
itu. Hati mereka tertuju kepada para berhala lalu mereka pergi ke kuil untuk menyampaikan
persembahan kepada berhala. Para nabi mengingatkan mereka tentang kesalahan itu dan mengajak
mereka untuk kembali kepada TUHAN: mengarahkan hati mereka kepada TUHAN dan beribadah
kepada-Nya. Demikian juga, ketika orang Israel berdosa kepada sesamanya, mereka telah
meninggalkan TUHAN dengan mengabaikan relasi mereka dengan TUHAN dan dengan sesama
dan mengabaikan kehendak-Nya. Para nabi menyampaikan seruan agar orang Israel
meninggalkan berhala-berhala mereka lalu kembali kepada TUHAN, meninggalkan dosa dan
kejahatan mereka lalu hidup menurut kehendak TUHAN. Ketika umat TUHAN meninggalkan
para berhala dan dosa mereka lalu kembali kepada TUHAN itu disebut sebagai pertobatan.
Setelah mendengar seruan pertobatan yang disampaikan oleh para nabi, TUHAN mengharapkan
orang Israel meninggalkan pelanggaran, dosa, dan kejahatan mereka, lalu kembali kepada Allah
dan hidup menurut kehendak-Nya. Tetapi, peringatan para nabi sering diabaikan, bahkan mereka
menolak ucapan para nabi dengan menganiaya atau membunuhnya. Karena orang Israel menolak
peringatan TUHAN, mereka harus menanggung hukuman atas dosa dan kejahatan yang mereka
lakukan. Sesungguhnya TUHAN tidak ingin menghukum umat-Nya. Ia menghendaki agar Umat
Israel senantiasa hidup sesuai dengan jatidirinya sebagai umat pilihan, yaitu hidup dalam relasi
yang benar dengan Allah dan dengan sesama. Ketika mereka berlaku tidak setia kepada-Nya dan
memperlakukan sesamanya secara tidak adil, Allah menghendaki agar mereka memperbarui hidup
mereka dengan memperbaiki relasi dengan Allah dan sesama.
Pembaruan Relasi Dalam Hidup
Seruan yang disampaikan oleh para nabi untuk memperbarui relasi dalam kehidupan itu tidak
hanya berlaku untuk umat Allah di Perjanjian Lama, tetapi juga untuk umat Allah sepanjang
zaman. Dalam Injil Yohanes Tuhan Yesus menyatakan bahwa Allah mengasihi manusia dan
menghendaki manusia hidup dalam kemuliaan abadi bersama dengan Dia
(Yoh. 3:16). Karena itu, Allah mengaruniakan Anak Tunggal-Nya untuk membebaskan manusia
dari dosa dan kematian. Kasih Allah kepada manusia itu tampak jelas dalam diri Yesus, yang
mengasihi manusia dengan kasih yang paling besar, yaitu dengan menyerahkan nyawa-Nya (Yoh.
15:13). Dengan cara demikian, Allah membuka relasi dengan manusia, bukan hanya dengan orang Israel.
Orang yang telah mengambil keputusan untuk percaya kepada Allah yang mengasihi manusia ini
masuk dalam relasi dengan Allah. Karena Allah telah mengasihi dia, dia pun mengasihi Allah.
Karena telah mengasihi manusia dengan kasih yang paling besar, Yesus menyampaikan perintah
yang baru, yaitu supaya para murid-Nya mengasihi sesama seperti Ia telah mengasihi mereka
(Yoh. 13:14; 15:12). Karena itu, orang yang percaya kepada
Kristus senantiasa menyesuaikan hidupnya dengan kehendak Allah. Kehidupan yang dikehendaki
oleh Allah adalah kehidupan yang diwarnai dengan kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama.
Seluruh anggota Gereja, umat Allah yang baru, dipanggil untuk memperbarui relasi dengan Allah
dan dengan sesama. Supaya dapat menjalani kehidupan seperti ini, orang perlu mempelajari siapa
Allah dan apa yang dikehendaki-Nya. Pengetahuan tentang Allah ini menolong orang untuk
masuk dalam pengenalan akan Allah. Orang yang
mengenal Allah membina relasi dengan Allah: Ia merasakan bagaimana Allah telah mengasihi
dia dan sebaliknya, ia pun mengasihi Allah.Berdasarkan pemahaman dan pengenal akan Allah
yang dimilikinya, umat memeriksa diri mereka berdasarkan pemahaman tentang Allah dan
kehendak-Nya. Dalam pemeriksaan diri itu, mereka melihat bagaimana mereka telah bersikap
kepada Allah dan kepada sesama. Mereka dapat melihat yang benar dan yang salah dalam
perbuatan mereka. Kesadaran akan kasih Allah akan mendorong dia untuk tidak lagi melakukan
hal-hal yang salah, baik kepada Allah maupun kepada sesama. Sesudah itu, ia akan mengarahkan
hidupnya semata-mata untuk melakukan hal-hal yang dikehendaki oleh Allah dan mengusahakan
semua yang diperlukan supaya ia berpikir, berbicara, dan bertindak benar, sesuai dengan firman Allah



Tidak ada komentar:
Posting Komentar