Artikel


 

Tahun Yubileum

2025

Dalam beberapa bulan lagi Tahun Yubileum akan berakhir, tetapi kita tetap dapat merenungkan

apa pesan Paus Fransiskus dalam Bulla “Spes Non Confundit” (Harapan Tidak Mengecewakan). 

“Bagi semua orang, semoga Yubileum ini menjadi momen perjumpaan pribadi yang sejati dengan 

Tuhan Yesus, “pintu” (lihat. Yoh. 10:7,9) keselamatan kita, yang selalu diwartakan oleh Gereja 

sebagai “pengharapan kita” (1Tim. 1:1), kepada siapa saja dan di mana saja (SNC 1). Orang yang 

percaya kepada Kristus hidup dalam damai sejahtera dengan Allah dan bermegah dalam 

pengharapan akan menerima kemuliaan Allah. Pengharapan ini tidak mengecewakan karena kasih Allah telah 

dicurahkan dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita

(Rm. 5:1-2,5). Wafat dan kebangkitan Yesus adalah inti iman kita dan dasar pengharapan kita. 

 Kristus mati, dikuburkan, dibangkitkan, dan menampakkan diri. Demi kita, Yesus mengalami 

 drama kematian. Pengharapan Kristiani justru terletak pada hal ini: bahwa dalam 

menghadapi kematian yang tampaknya merupakan akhir dari segalanya, kita mempunyai 

kepastian bahwa, berkat kasih karunia Kristus yang diberikan kepada kita melalui pembaptisan, 

“kehidupan diubah, bukan berakhir,” selamanya. Apa yang akan terjadi pada kita setelah 

kematian? Bersama Yesus, melampaui ambang batas ini, kita akan menemukan kehidupan kekal, 

yang merupakan persekutuan penuh dengan Tuhan. Apa yang menjadi ciri kepenuhan persekutuan ini..?

 

Menjadi Bahagia. Kebahagiaan adalah panggilan kemanusiaan kita, sebuah tujuan yang dicita-

citakan semua orang. Berkaitan dengan kehidupan kekal, kita perlu mengingat penghakiman 

Allah, baik pada akhir kehidupan kita, maupun pada akhir sejarah (SNC 21). Kita memang harus 

mempersiapkan diri secara sadar dan bijaksana untuk menghadapi saat ketika hidup kita akan 

diadili, namun dari sudut pandang pengharapan kita harus selalu melakukan Kebajikan teologis 

yang menopang hidup kita dan melindunginya dari ketakutan yang tidak berdasar. Penghakiman 

Allah, yang adalah kasih (lihat 1Yoh. 4:8:16), pasti akan didasarkan pada kasih, dan khususnya 

pada semua yang telah berhasil atau gagal kita lakukan sehubungan dengan mereka yang 

membutuhkan, yang di tengah-tengahnya Kristus, sang Hakim sendiri, hadir (lihat. Mat.25:31-46).

Harus diakui bahwa selama hidup di dunia ini manusia tidak lepas dari kecenderungan untuk 

berdosa. Paus Fransiskus mengajak para Misionaris Belas Kasih untuk menghidupkan kembali 

pengharapan dan menawarkan pengampunan setiap kali ada orang berdosa yang datang kepada 

merekadengan hati terbuka dan kehendak untuk bertobat (SNC 23). “Di Tahun

Yobel ini semoga semua orang dapat menerima pengampunan dan penghiburan dari Tuhan” 

(SNC 23). Orang yang bertobat dan menerima pengampunan dipanggil menjalani kehidupan 

mereka seperti yang dikehendaki oleh Allah, yaitu hidup dalam kasih dengan Allah dan dengan 

sesama. Orang yang bertindak demikian dapat disebut sebagai orang yang menjalani pembaruan 

hidup: ia meninggalkan dosa dan kejahatan yang telah dilakukannya, lalu menjalani kehidupan 

yang dikehendaki oleh Allah, kehidupan yang diwarnai dengan kasih.

Dalam Bulan Kitab Suci Nasional tahun 2025 ini, kita akan merenungkan nubuat dua orang nabi 

yang berkarya di zaman sesudah pembuangan, yaitu Zakharia dan Maleakhi. Kedua nabi ini 

menyampaikan seruan tentang pembaruan hidup kepada orang-orang Yahudi, bangsa yang dipilih

oleh Tuhan menjadi Umat-Nya. Sebagai bangsa pilihan TUHAN, mereka diingatkan untuk hidup 

sesuai jatidiri mereka dengan hidup menurut kehendak TUHAN, Allah mereka.

 

Allah, Sumber Pembaruan Relasi

Ketika orang Israel diperbudak di Mesir, mereka berteriak minta tolong karena tidak tahan 

menanggung penderitaan karena perbudakan (Kel.2:23). Allah mendengar rintihan orang Israel 

lalu memperhatikan mereka (Kel. 2:24). Ia melihat betapa kerasnya orang Mesir menindas 

mereka (Kel.3:9). Karena itu, Allah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan 

membawa mereka ke negeri yang luas dan subur (Kel. 3:8). Allah menjumpai Musa untuk 

mengutusnya membawa orang Israel keluar dari Mesir (Kel. 3:10). Lalu, dengan perantaraan 

Musa, Allah berbagai tulah untuk memaksa orang Mesir membiarkan orang Israel pergi dari 

negeri mereka. Demikianlah, Musa membawa orang Israel keluar dari negeri yang telah 

memperbudak mereka. Seperti yang diperintahkan oleh Allah (Kel. 3:12), Musa membawa orang 

Israel ke Sinai. Di gunung ini TUHAN, mengadakan perjanjian dengan orang Israel. Dalam 

Perjanjian Sinai TUHAN mengangkat Israel menjadi umat-Nya (Kel. 19:5-6). Dengan demikian, 

Ia menjadi Allah Israel dan Israel menjadi umat TUHAN. Mereka mendapatkan jatidiri yang 

baru :

Sebelumnya mereka adalah bangsa budak, yang ada di bawah kekuasaan orang Mesir. Setelah 

diikat dalam perjanjian dengan TUHAN, mereka bukan lagi budak melainkan bangsa yang 

merdeka; mereka bukan lagi budak Mesir, melainkan bangsa pilihan TUHAN. Antara TUHAN 

dan orang Israel terbentuk relasi yang eksklusif, yaitu relasi antara Allah dan Umat-Nya. TUHAN 

melakukan semua itu kepada orang Israel karena Ia mengasihi mereka (Ul. 7:8; bdk. Ul. 4:37).

TUHAN yang telah membangun relasi dengan orang Israel menghendaki agar mereka 

memperhatikan relasi mereka dengan Allah mereka dan dengan sesama mereka. Kehendak 

TUHAN ini diungkapkan dalam Hukum Taurat yang diberikan kepada orang Israel menjadi 

pedoman hidup bagi mereka. 

Pada dasarnya hukum ini bertumpu pada dua hal, yaitu kasih kepada Allah dan kasih kepada 

sesama (Mat. 22:34-40; Ul. 10:12-20). Dengan kata lain, kehidupan umat TUHAN itu diwarnai 

relasi penuh kasih dengan Allah dan dengan sesama. 

Orang Israel menyatakan kesanggupan untuk menjadi umat TUHAN dan kesanggupan untuk 

hidup menurut jati dirinya sebagai umat-Nya dan kesanggupan untuk melakukan firman yang 

telah disampaikan oleh TUHAN kepada mereka (Kel. 19:8; 24:3,7). Kehidupan Umat Israel 

dikatakan tidak sesuai dengan jatidirinya, bila mereka tidak setia kepada Allah atau memberontak 

melawan Dia dan bila mereka berlaku tidak adil kepada sesama. Dosa dan kejahatan yang 

dilakukan oleh orang Israel kepada TUHAN dan kepada sesama ini merusak relasi mereka

dengan Allah dan sesama mereka. Kehidupan orang Israel selama hidup di padang gurun 

dipahami sebagai masa yang indah dalam hubungan mereka dengan TUHAN. Tetapi, dalam 

perjalanan sejarah mereka, orang Israel berulang kali melanggar hukum Allah. Mereka berlaku 

tidak setia kepada Allah dengan meninggalkan Dia dan menyembah dewa-

dewi dan melakukan berbagai kejahatan kepada sesama. Setiap kali orang Israel melakukan 

berlaku tidak setia kepada Allah dan berlaku jahat kepada sesama, TUHAN mengutus para nabi 

kepada mereka. Nabi diutus oleh Allah untuk mengingatkan umat Israel supaya meninggalkan 

kejahatan dan dosa yang mereka lakukan lalu hidup sesuai dengan jatidiri mereka sebagai umat 

pilihan Allah. Para nabi harus berjuang keras untuk menyampaikan peringatan kepada umat Israel.


Mereka melakukan hal ini dengan berbagai cara:

• mengingatkan orang Israel pada kasih Allah yang telah mengangkat

mereka yang dulunya budak menjadi umat-Nya.

• mengingatkan mereka akan jatidiri mereka sebagai umat TUHAN

supaya mereka hidup menurut jatidiri mereka dengan hidup menurut hukum TUHAN.

• menyampaikan seruan pertobatan: mengingatkan mereka untuk

menghentikan kejahatan yang mereka lakukan (Yeh. 18:31).

• menyampaikan ancaman hukuman atau konsekuensi yang harus

mereka tanggung bila mereka menolak peringatan Allah yang mereka sampaikan. 

Ketika menyembah berhala, orang Israel meninggalkan TUHAN dan pergi

kepada para berhala itu. Hati mereka tertuju kepada para berhala lalu mereka pergi ke

kuil untuk menyampaikan persembahan kepada berhala.

 

Pembaruan Relasi Dalam Hidup

Seruan yang disampaikan oleh para nabi untuk memperbarui relasi dalamkehidupan itu tidak  

hanya berlaku untuk umat Allah di Perjanjian Lama, tetapi juga untuk umat Allah sepanjang 

zaman. Dalam Injil Yohanes Tuhan Yesus menyatakan bahwa Allah mengasihi manusia dan 

menghendaki manusia hidup dalam kemuliaan abadi bersama dengan Dia 

(Yoh. 3:16). Karena itu, Allah mengaruniakan Anak Tunggal-Nya untuk membebaskan 

manusia dari dosa dan kematian. Kasih Allah kepada manusia itu tampak jelas dalam diri Yesus, 

yang mengasihi manusia dengan kasih yang paling besar, yaitu dengan menyerahkan nyawa-Nya 

(Yoh. 15:13). Dengan cara demikian, Allah membuka relasi dengan manusia, bukan hanya dengan orang Israel.

Orang yang telah mengambil keputusan untuk percaya kepada Allah yang mengasihi manusia ini 

masuk dalam relasi dengan Allah. Karena Allah telah mengasihi dia, dia pun mengasihi Allah. 

Karena telah mengasihi manusia dengan kasih yang paling besar, Yesus menyampaikan perintah 

yang baru, yaitu supaya para murid-Nya mengasihi sesama seperti Ia telah mengasihi mereka 

(Yoh. 13:14; 15:12). Karena itu, orang yang percaya kepada Kristus senantiasa menyesuaikan 

hidupnya dengan kehendak Allah. Kehidupan yang dikehendaki oleh Allah adalah kehidupan 

yang diwarnai dengan kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. Seluruh anggota Gereja, 

umat Allah yang baru, dipanggil untuk memperbarui relasi dengan Allah dan dengan sesama. 

Supaya dapat menjalani kehidupan seperti ini, orang perlu mempelajari siapa Allah dan apa yang 

dikehendaki-Nya. Pengetahuan tentang Allah ini

menolong orang untuk masuk dalam pengenalan akan Allah. Orang yang mengenal Allah 

membina relasi dengan Allah: Ia merasakan bagaimana Allah telah mengasihi dia dan sebaliknya, 

ia pun mengasihi Allah. Berdasarkan pemahaman dan pengenal akan Allah yang dimilikinya, 

umat memeriksa diri mereka berdasarkan pemahaman tentang Allah dan kehendak-Nya. Dalam 

pemeriksaan diri itu, mereka melihat bagaimana mereka telah bersikap kepada Allah dan kepada 

sesama. Mereka dapat melihat yang benar dan yang salah

dalam perbuatan mereka. Kesadaran akan kasih Allah akan mendorong dia untuk tidak lagi 

melakukan hal- hal yang salah, baik kepada Allah maupun kepada sesama. Sesudah itu, ia akan 

mengarahkan hidupnya semata-mata untuk melakukan hal-hal yang dikehendaki oleh Allah dan 

mengusahakan semua yang diperlukan supaya ia berpikir, berbicara, dan bertindak benar

sesuai dengan Dalam beberapa bulan lagi Tahun Yubileum akan berakhir, tetapi kita tetap dapat 

merenungkan apa pesan Paus Fransiskus dalam Bulla “Spes Non

Confundit” (Harapan Tidak Mengecewakan). “Bagi semua orang, semoga Yubileum ini menjadi 

momen perjumpaan pribadi yang sejati dengan Tuhan Yesus, “pintu” 

(lihat. Yoh.10:7,9) keselamatan kita, yang selalu diwartakan oleh Gereja sebagai “pengharapan 

kita” (1Tim. 1:1), kepada siapa saja dan di mana saja (SNC 1). Orang yang percaya kepada 

Kristus hidup dalam damai sejahtera dengan Allah dan bermegah dalam pengharapan akan 

menerima kemuliaan Allah. Pengharapan ini tidak mengecewakan

karena kasih Allah telah dicurahkan dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan 

kepada kita (Rm. 5:1-2,5). Wafat dan kebangkitan Yesus adalah inti iman kita dan dasar 

pengharapan kita. Kristus mati, dikuburkan, dibangkitkan, dan menampakkan diri.

Demi kita, Yesus mengalami drama kematian. Pengharapan Kristiani justru terletak pada hal ini: 

bahwa dalam menghadapi kematian yang tampaknya merupakan akhir dari segalanya, kita 

mempunyai kepastian bahwa, berkat kasih karunia Kristus yang diberikan kepada kita melalui 

pembaptisan, “kehidupan diubah, bukan berakhir,” selamanya. Apa yang akan terjadi

pada kita setelah kematian? Bersama Yesus, melampaui ambang batas ini, kita akan menemukan 

kehidupan kekal, yang merupakan persekutuan penuh dengan Tuhan. Apa yang menjadi ciri 

kepenuhan persekutuan ini? Menjadi Bahagia. Kebahagiaan adalah panggilan kemanusiaan kita, 

sebuah tujuan yang dicita-citakan semua orang. Berkaitan dengan kehidupan kekal, kita perlu 

mengingat penghakiman Allah, baik pada akhir kehidupan kita, maupun pada akhir sejarah (SNC 

21). Kita memang harus mempersiapkan diri secara sadar dan bijaksana untuk menghadapi saat 

ketika hidup kita akan diadili, namun dari sudut

pandang pengharapan kita harus selalu melakukan Kebajikan teologis yang menopang hidup kita 

dan melindunginya dari ketakutan yang tidak berdasar. Penghakiman Allah, yang adalah kasih 

(lihat 1Yoh. 4:8:16), pasti akan didasarkan pada kasih, dan khususnya pada semua yang telah 

berhasil atau gagal kita lakukan sehubungan dengan mereka yang membutuhkan,

yang di tengah-tengahnya Kristus, sang Hakim sendiri, hadir (lihat. Mat. 25:31-46).

Harus diakui bahwa selama hidup di dunia ini manusia tidak lepas dari kecenderungan untuk 

berdosa. Paus Fransiskus mengajak para Misionaris Belas Kasih untuk menghidupkan kembali 

pengharapan dan menawarkan pengampunan setiap kali ada orang berdosa yang datang kepada 

mereka dengan hati terbuka dan kehendak untuk bertobat (SNC 23). “Di Tahun Yobel ini semoga 

semua orang dapat menerima pengampunan dan penghiburan dari Tuhan” (SNC 23). Orang yang 

bertobat dan menerima pengampunan dipanggil menjalani kehidupan mereka seperti yang 

dikehendaki oleh Allah, yaitu hidup dalam kasih dengan Allah dan dengan sesama. Orang yang 

bertindak demikian dapat disebut sebagai orang yang menjalani pembaruan hidup: ia 

meninggalkan dosa dan kejahatan yang telah dilakukannya, lalu menjalani kehidupan yang 

dikehendaki oleh Allah, kehidupan yang diwarnai dengan kasih. Dalam Bulan Kitab Suci 

Nasional tahun 2025 ini, kita akan merenungkan nubuat dua orang nabi yang berkarya di zaman 

sesudah pembuangan, yaitu Zakharia dan Maleakhi. Kedua nabi ini menyampaikan seruan 

tentang pembaruan hidup kepada orang-orang Yahudi, bangsa yang dipilih oleh Tuhan menjadi 

Umat-Nya. Sebagai bangsa pilihan TUHAN, mereka

diingatkan untuk hidup sesuai jatidiri mereka dengan hidup menurut kehendak TUHAN, 

Allah mereka.

Allah, Sumber Pembaruan Relasi

Ketika orang Israel diperbudak di Mesir, mereka berteriak minta tolong karena tidak tahan 

menanggung penderitaan karena perbudakan (Kel.2:23). Allah mendengar rintihan orang Israel 

lalu memperhatikan mereka (Kel. 2:24). Ia melihat betapa kerasnya orang Mesir menindas mereka 

(Kel.3:9). Karena itu, Allah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan 

membawa mereka ke negeri yang luas dan subur (Kel. 3:8). Allah menjumpai Musa untuk 

mengutusnya membawa orang Israel keluar dari Mesir (Kel. 3:10). Lalu, dengan perantaraan 

Musa, Allah berbagai tulah untuk memaksa orang Mesir membiarkan orang Israel pergi dari 

negeri mereka. Demikianlah, Musa membawa orang Israel keluar dari negeri yang telah 

memperbudak mereka. Seperti yang diperintahkan oleh Allah (Kel. 3:12), Musa membawa orang 

Israel ke Sinai. Di gunung ini TUHAN, mengadakan perjanjian dengan orang Israel. Dalam 

Perjanjian Sinai TUHAN mengangkat Israel menjadi umat-Nya (Kel. 19:5-6). Dengan demikian, 

Ia menjadi Allah Israel dan Israel menjadi umat TUHAN. 


Mereka mendapatkan jati diri yang baru:

sebelumnya mereka adalah bangsa budak, yang ada di bawah kekuasaan orang Mesir. Setelah 

diikat dalam perjanjian dengan TUHAN, mereka bukan lagi budak melainkan bangsa yang 

merdeka; mereka bukan lagi budak Mesir, melainkan bangsa pilihan TUHAN. Antara TUHAN 

dan orang Israel terbentuk relasi yang eksklusif, yaitu relasi antara Allah dan Umat-Nya. TUHAN 

melakukan semua itu kepada orang Israel karena Ia mengasihi mereka (Ul. 7:8; bdk. Ul. 4:37). 

TUHAN yang telah membangun relasi dengan orang Israel menghendaki agar mereka 

memperhatikan relasi mereka dengan Allah mereka dan dengan sesama mereka. Kehendak 

TUHAN ini diungkapkan dalam Hukum Taurat yang diberikan kepada orang Israel menjadi 

pedoman hidup bagi mereka. Pada dasarnya hukum ini bertumpu pada dua hal, yaitu kasih kepada 

Allah dan kasih kepada sesama (Mat. 22:34-40; Ul. 10:12-20). Dengan kata lain, kehidupan umat 

TUHAN itu diwarnai relasi penuh kasih dengan Allah dan dengan sesama. Orang Israel 

menyatakan kesanggupan untuk menjadi umat TUHAN dan kesanggupan untuk hidup menurut 

jati dirinya sebagai umat-Nya dan kesanggupan untuk melakukan firman yang telah disampaikan 

oleh TUHAN kepada mereka (Kel. 19:8; 24:3,7).

Kehidupan Umat Israel dikatakan tidak sesuai dengan jatidirinya, bila mereka tidak setia kepada 

Allah atau memberontak melawan Dia dan bila mereka berlaku tidak adil kepada sesama. Dosa 

dan kejahatan yang dilakukan oleh orang Israel kepada TUHAN dan kepada sesama ini merusak 

relasi mereka dengan Allah dan sesama mereka. Kehidupan orang

Israel selama hidup di padang gurun dipahami sebagai masa yang indah dalam hubungan mereka 

dengan TUHAN. Tetapi, dalam perjalanan sejarah mereka, orang Israel berulang kali melanggar 

hukum Allah. Mereka berlaku tidak setia kepada Allah dengan meninggalkan Dia dan 

menyembah dewa-dewi dan melakukan berbagai kejahatan kepada sesama. Setiap kali orang 

Israel melakukan berlaku tidak setia kepada Allah dan berlaku jahat kepada sesama, TUHAN 

mengutus para nabi kepada mereka. Nabi diutus oleh Allah untuk mengingatkan umat Israel 

supaya meninggalkan kejahatan dan dosa yang mereka lakukan lalu hidup sesuai dengan jatidiri 

mereka sebagai umat pilihan Allah. Para nabi harus berjuang keras untuk menyampaikan 

peringatan kepada umat Israel. 


Mereka melakukan hal ini dengan berbagai cara:

mengingatkan orang Israel pada kasih Allah yang telah mengangkat

mereka yang dulunya budak menjadi umat-Nya.

mengingatkan mereka akan jatidiri mereka sebagai umat TUHAN

supaya mereka hidup menurut jatidiri mereka dengan hidup menurut hukum TUHAN.

menyampaikan seruan pertobatan: mengingatkan mereka untuk menghentikan

 kejahatan yang mereka lakukan (Yeh. 18:31).

menyampaikan ancaman hukuman atau konsekuensi yang harus mereka tanggung bila

 mereka menolak peringatan Allah yang mereka sampaikan.


Ketika menyembah berhala, orang Israel meninggalkan TUHAN dan pergi kepada para berhala 

itu. Hati mereka tertuju kepada para berhala lalu mereka pergi ke kuil untuk menyampaikan 

persembahan kepada berhala. Para nabi mengingatkan mereka tentang kesalahan itu dan mengajak 

mereka untuk kembali kepada TUHAN: mengarahkan hati mereka kepada TUHAN dan beribadah 

kepada-Nya. Demikian juga, ketika orang Israel berdosa kepada sesamanya, mereka telah 

meninggalkan TUHAN dengan mengabaikan relasi mereka dengan TUHAN dan dengan sesama 

dan mengabaikan kehendak-Nya. Para nabi menyampaikan seruan agar orang Israel 

meninggalkan berhala-berhala mereka lalu kembali kepada TUHAN, meninggalkan dosa dan 

kejahatan mereka lalu hidup menurut kehendak TUHAN. Ketika umat TUHAN meninggalkan 

para berhala dan dosa mereka lalu kembali kepada TUHAN itu disebut sebagai pertobatan. 

Setelah mendengar seruan pertobatan yang disampaikan oleh para nabi, TUHAN mengharapkan 

orang Israel meninggalkan pelanggaran, dosa, dan kejahatan mereka, lalu kembali kepada Allah 

dan hidup menurut kehendak-Nya. Tetapi, peringatan para nabi sering diabaikan, bahkan mereka 

menolak ucapan para nabi dengan menganiaya atau membunuhnya. Karena orang Israel menolak 

peringatan TUHAN, mereka harus menanggung hukuman atas dosa dan kejahatan yang mereka 

lakukan. Sesungguhnya TUHAN tidak ingin menghukum umat-Nya. Ia menghendaki agar Umat 

Israel senantiasa hidup sesuai dengan jatidirinya sebagai umat pilihan, yaitu hidup dalam relasi 

yang benar dengan Allah dan dengan sesama. Ketika mereka berlaku tidak setia kepada-Nya dan 

memperlakukan sesamanya secara tidak adil, Allah menghendaki agar mereka memperbarui hidup 

mereka dengan memperbaiki relasi dengan Allah dan sesama.


Pembaruan Relasi Dalam Hidup

Seruan yang disampaikan oleh para nabi untuk memperbarui relasi dalam kehidupan itu tidak 

hanya berlaku untuk umat Allah di Perjanjian Lama, tetapi juga untuk umat Allah sepanjang 

zaman. Dalam Injil Yohanes Tuhan Yesus menyatakan bahwa Allah mengasihi manusia dan 

menghendaki manusia hidup dalam kemuliaan abadi bersama dengan Dia 

(Yoh. 3:16). Karena itu, Allah mengaruniakan Anak Tunggal-Nya untuk membebaskan manusia 

dari dosa dan kematian. Kasih Allah kepada manusia itu tampak jelas dalam diri Yesus, yang 

mengasihi manusia dengan kasih yang paling besar, yaitu dengan menyerahkan nyawa-Nya (Yoh. 

15:13). Dengan cara demikian, Allah membuka relasi dengan manusia, bukan hanya dengan orang Israel. 

Orang yang telah mengambil keputusan untuk percaya kepada Allah yang mengasihi manusia ini 

masuk dalam relasi dengan Allah. Karena Allah telah mengasihi dia, dia pun mengasihi Allah. 

Karena telah mengasihi manusia dengan kasih yang paling besar, Yesus menyampaikan perintah 

yang baru, yaitu supaya para murid-Nya mengasihi sesama seperti Ia telah mengasihi mereka 

(Yoh. 13:14; 15:12). Karena itu, orang yang percaya kepada

Kristus senantiasa menyesuaikan hidupnya dengan kehendak Allah. Kehidupan yang dikehendaki 

oleh Allah adalah kehidupan yang diwarnai dengan kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. 

Seluruh anggota Gereja, umat Allah yang baru, dipanggil untuk memperbarui relasi dengan Allah 

dan dengan sesama. Supaya dapat menjalani kehidupan seperti ini, orang perlu mempelajari siapa 

Allah dan apa yang dikehendaki-Nya. Pengetahuan tentang Allah ini menolong orang untuk 

masuk dalam pengenalan akan Allah. Orang yang

mengenal Allah membina relasi dengan Allah: Ia merasakan bagaimana Allah telah mengasihi

dia dan sebaliknya, ia pun mengasihi Allah.Berdasarkan pemahaman dan pengenal akan Allah 

yang dimilikinya, umat memeriksa diri mereka berdasarkan pemahaman tentang Allah dan 

kehendak-Nya. Dalam pemeriksaan diri itu, mereka melihat bagaimana mereka telah bersikap 

kepada Allah dan kepada sesama. Mereka dapat melihat yang benar dan yang salah dalam 

perbuatan mereka. Kesadaran akan kasih Allah akan mendorong dia untuk tidak lagi melakukan 

hal-hal yang salah, baik kepada Allah maupun kepada sesama. Sesudah itu, ia akan mengarahkan 

hidupnya semata-mata untuk melakukan hal-hal yang dikehendaki oleh Allah dan mengusahakan 

semua yang diperlukan supaya ia berpikir, berbicara, dan bertindak benar, sesuai dengan firman Allah

 

 


 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar